Soal perempuan di sepakbola Inggris, Chelsea memiliki Sang Perempuan Besi, Marina Granovskaia,
dan dokter kesebelasan, Eva Carneiro. Leicester tak mau kalah. Annie
Zaidi, salah satu pelatih mereka, adalah pencetak sejarah.
Pemilik lisensi kepelatihan UEFA B ini adalah perempuan Muslim pertama
yang menjadi pelatih di kesebelasan profesional Inggris. Perjalanan yang
ditempuhnya, bagaimanapun, tidak mudah. Untuk berada di tempatnya
berdiri saat ini, Annie melewati jalan panjang yang berliku dan tentunya
berat dijalani.
Annie dan sepakbola mulai menjalin hubungan
erat ketika Annie, anak pertama dari lima bersaudara, menderita penyakit
eksema. Annie tidak memiliki banyak teman karena penyakit kulit yang ia
derita sehingga Annie, yang sedari awal memang menyukai sepakbola,
banyak menghabiskan waktu dengan bermain sepakbola bersama ketiga adik
laki-lakinya. Hanya itu yang dapat Annie lakukan karena saat itu,
seorang anak perempuan tidak dapat membela kesebelasan sekolah yang
berisi, seluruhnya, anak laki-laki.
Sembuhnya Annie dari
penyakit yang ia derita membuatnya kembali dapat berinteraksi dengan
nyaman. Namun cintanya kepada sepakbola tidak ia tinggalkan. Annie yang
tumbuh besar di Ipswich dan Nuneaton mendukung Arsenal dan, ketika tidak
menghabiskan waktunya dengan bermain sepakbola, Annie menonton rekaman
pertandingan.
Keluarga Annie yang berasal dari Pakistan adalah
pemeluk Islam yang taat. Namun ketaatan beragama tidak membuat mereka
buta. Annie tetap mendapat dukungan penuh keluarga untuk terlibat di
dunia sepakbola selama ia tetap menutup auratnya. Dan memang tidak
pernah terpikir oleh Annie, yang memandang sepakbola sebagai agama
kedua, untuk melepas kerudungnya.
"Bagi saya," ujar Annie, "kerudung bukan hanya bagian dari pakaian saya. Kerudung menandakan banyak hal kepada orang lain."
Kemudahan yang ia dapatkan di keluarganya, toh, tidak ia rasakan di
masyarakat. Fakta bahwa Pakistan adalah kelompok etnis terbesar di
antara kelompok imigran di Inggris pun tidak banyak membantu. Sulit bagi
seorang perempuan untuk bekerja di dunia sepakbola yang didominasi
laki-laki. Tantangan ini lebih besar lagi bagi Annie karena ia juga
seorang Muslim, dan muslim yang benar-benar menunjukkan keislamannya.
Di Inggris Raya, ada sebuah kelompok islamophobia bernama English
Defense League. Pada awal pendiriannya, EDL adalah kelompok penentang
kelompok Islam garis keras. Mereka bahkan memiliki seorang anggota yang
beragama Islam, karena yang mereka perangi adalah kekerasan yang
mengatasnamakan agama, bukan agamanya itu sendiri.
Namun pada
praktiknya, EDL menyimpang. Mereka berubah menjadi kelompok islamophobia
yang sering melakukan tindak kekerasan. Tommy Robinson, pendiri EDL,
bahkan sampai meninggalkan kelompok yang ia dirikan karena sudah tidak
lagi sesuai dengan ideologi yang ia tanamkan. Tak berhenti sampai di
situ, EDL pun mulai bersentuhan dengan sepakbola.
Para Hooligan
yang sudah tidak dapat beraksi seperti dahulu karena peningkatan
keamanan di pertandingan-pertandingan sepakbola dewasa ini melihat EDL
sebagai wadah untuk menyalurkan sifat liar mereka. EDL pun menjadi kedok
mereka untuk menghalalkan segala jenis kekerasan.
Dengan adanya kelompok sayap kanan yang sudah bersentuhan dengan sepakbola,
dapat dibayangkan bagaimana sulitnya Annie menikmati dunia yang ia
cintai. Pernah ia merasa ingin menyerah karenanya, namun ia selalu
berhasil membuang jauh godaan tersebut dan, dalam beberapa kesempatan,
menyerang balik dengan anggun.
"Sepakbola sejak dulu memang
dikenal sebagai olahraganya laki-laki, kan? Perempuan tidak diizinkan
terlibat," ujar Annie. "Saya seringkali disangka resepsionis, bukan
pelatih. Di sebuah kesebelasan, saya diperkenalkan kepada seorang
manajer yang sudah berbicara dengan saya lewat tetefon. Ketika saya
berjumpa tatap muka dengannya, ia berkata: Oh, saya tidak menyangka
Anda orang Asia. Di telefon, Anda tidak terdengar seperti orang Asia.
Saya, sebagaimana wajarnya saya, membalas, ya, Anda terdengar sangat
tampan di telefon, tapi aslinya tidak. Kita harus berkulit tebal. Tidak
bisa hal seperti itu diterima begitu saja. Perjalanan kita masih
panjang, namun kita melangkah ke arah yang benar."
Annie
memulai karir kepelatihannya ketika menjalani program kerja praktik
sebagai bagian dari pendidikan tingkat masternya di Coventry. Annie yang
ditempatkan di Newcastle yang saat itu memiliki banyak pendukung
British National Party, partai politik sayap kanan Inggris. Kecintaan
Annie kepada sepakbola membuatnya memberanikan diri melamar sebagai
pelatih di kesebelasan setempat.
Ia diterima oleh kesebelasan.
Namun para pemain tidak. Annie berusaha membaur dengan pemainnya agar
dapat diterima. Namun mereka mengasari Annie. Ia tetap sabar dan
berusaha. Pada akhirnya, para pemain menerima dan menyukainya. Di pekan
kelima dari dua belas pekan kontraknya, kesebelasan mendapat beberapa
pemain baru yang mulai menyerang Annie dengan kata-kata berbau rasisme.
Para pemain lama membela Annie.
"Saat itulah saya menyadari
bahwa sepakbola lebih dari sekedar olahraga, sepakbola adalah alat untuk
meruntuhkan hambatan," kenang Annie. "Di akhir, saya merasa kuat. Di
pekan ke-12, saya Coach Annie, dan itulah yang saya inginkan. Coach
Annie, begitulah mereka memanggil saya dalam aksen Geordie yang indah.
Ini brilian."
Setelah meninggalkan Newcastle untuk kembali ke
Coventry, Annie menyelesaikan pendidikannya dan mulai menjalani kursus
kepelatihan. Pada 2008, Annie meraih lisensi kepelatihan FA level 1.
Setelahnya ia mengejar level 2 dan level 3.
Impiannya menjadi
manajer pun terwujud. Ia menangani kesebelasan Sunday League Coventry.
Namun lagi-lagi, menjadi manajer tidak membuatnya berhenti mendapat
perlakuan tidak menyenangkan. Selama tiga tahun menjadi manajer
Coventry, banyak perlakuan rasis dan seksis yang diterimanya.
"Sempat
orang-orang menanyakan tanda pengenal, untuk memeriksa apakah saya
benar-benar manajer. Itu pelecehan, namun saya tutup mulut dan berlalu.
Saya dapat menerimanya," ujar Annie.
Meninggalkan Coventry,
nasib Annie membaik setelah bertemu dengan Wallace Hermitt, salah satu
pendiri Black Asian Coaches Association.
"Ia melihat potensi ketika orang-orang tidak melihatnya," ujar Annie.
"Orang-orang bilang kalau mimpi saya akan tetap jadi mimpi karena citra
saya; seorang perempuan Muslim berkerudung. Namun ia melihat potensi
saya. Ia bilang ketika membicarakan sepakbola, mata saya berbinar."
Bersama Wallace, Annie mendapat pekerjaan di FA tingkat County, dapat
lisensi kepelatihan UEFA B, dan bekerja sebagai pelatih di kesebelasan
profesional.
Annie melatih di Brixton, kesebelasan tempatnya
diterima sebagai pelatih. Di sana ia tidak dipandang sebagai seorang
perempuan Muslim, namun seorang pelatih sepakbola yang kompeten.
Brixton, menurut Annie, adalah rumah di luar rumah.
Setelah 18
bulan di Brixton, dan mendapat bayaran besar, datang tawaran dari
Leicester City pada Oktober tahun lalu. Leicester tidak mampu membayar
Annie semahal Brixton namun Annie menerima pekerjaan yang ditawarkan
kepadanya.
Di Leicester, Annie menemukan kebahagiaan baru. Ia
senang melatih kesebelasan perempuan U-11 karena itu membuatnya merasa
menjadi bagian dari masa depan sepakbola perempuan Inggris. Namun
berkarir di kesebelasan Premier League tidak membuatnya berhenti
berusaha. Annie masih bermimpi dapat melatih di kesebelasan pria senior.
Tepatnya di Arsenal, kesebelasan favoritnya.
(ibn)
Sumber:
Sumber utama cerita ini adalah hasil wawancara Gemma Peplow dengan Annie Zaidi, yang dimuat di laman Leicester Mercury.
panditfootball.com
0 comments :
Post a Comment